pERawAn hUJan

menari, jemari lentik langit laksana badai
gemulai rintik membelai waktu selayak gelombang
diaminkan angin saat gundah bermunajat

: hujan masih perawan

berlari kecil kenang dan bayang akan silam masa
sumringah gejolak jiwa diketuk halilintar
matahari lelap melupa mimpi

: wajah duka digurat rintik

berkecipak matamu menatapi jejak darah
seuntai kegetiran akan awan hitam di antara tulang iga
kau lenakan dalam do'a tanpa bait

: detak nadi mengaduh saat sukma mengeluh



el hida 01062011

surat untuk mama

Hari berlalu hampir tak terasa, sedang malam tak pernah berehenti mengajarkanku akan sunyi dan kesendirian. Aku tak peduli pada jejak matahari atau sekedar pijar gemintang yang selalu kulihat di matamu. Aku hanya peduli pada berbait-bait kerinduan yang kau catat persis di benakku.


“Tapi aku sakit...”, katamu.


Lalu, apa karena kau sakit aku harus membunuh rasa yang setiap detik aku lafalkan pahatannya di jantungku? Tidak, sayang, aku mencintamu bukan karena sakit dan sehatmu, pun karena keanggunan paras yang dikata angin kepada hujan.


Nyanyian fajar, tarian ilalang dan ocehan burung senja  menyampaikan salam dari kedalaman rindumu. “Aku pemuja kata dan pemuji diksimu”, kau bilang. Aku tak tersanjung, aku justru malu pada sajak-sajak picisan yang telah kurangkai, pada bait-bait tak berarti yang selalu kuurai. Tapi aku bangga pada ketangguhan jiwamu, hingga pada hari-hari yang selalu berhasil kau kalahkan, aku mencibirnya tanpa henti.


“Aku ingin mati seribu tahun lagi. tapi..”, ucapmu di senja yang ranum akan rindu itu.


Kusunggingkan senyum, kulihat matahari itu meredup di matamu, dan gemintang berjatuhan dari tatapanmu. Aku mengerti, sayang, bahkan aku merasa lebih faham dari awan akan hujan yang telah dijadikannya. Hidup adalah puisi dan kehidupan adalah diksinya. Ingatkah kau akan hari-hari tawa dan masa-masa gila yang kita latari dengan mimpi bisu? 


“Aku ingat, namun pada saat itulah rembulan sabit menamparku jengah...”,sambil merunduk, di kursi bawah pohon pada sebuah taman, kau mulai mengurai bersama angin dan kecupan perih. Sakit. Aku merasakan semua itu. Engkau begitu tegar, sayang, sedang aku hanya mampu memegang tanganmu saat kau mulai lupa akan syair-syair yang telah kau cipta di mulut pagi, di antara adzan Shubuh dan iqomatnya.


“Aku ingin menyerah, aku lelah...”


Burung gereja bersiulan di dahan-dahan airmata, sesekali terdengar mungkin burung merpati menginjak ranting yang terbaring di atas tanah. Dan aku, di hatiku, jelas menjerit dan ingin memelukmu sekencang mungkin hingga tak ada yang mampu mengambilmu dari tanganku.


“Aku capek!!!!”, ucapmu dengan kekesalan yang menjelma petir dan guntur. Rupanya langit kian murung, dan gemawan jelas menghitam di pelupuk matahari. Aku terdiam, dan memelukmu dengan rancu.


“Tak harus aku jelaskan padamu tentang kekesalanku, kan... aku memang lelah, aku merasa aku telah kalah. Lihatlah darah yang keluar dari hidungku ini, lihat!!! Apa ini tak cukup menjelaskan?”


Aku hanya diam, mendengar, dan benar, aku merasakan kepedihan jiwanya.


“Aku ingin Tuhan memanggilku dengan indah, dengan kemerduan lagu-lagu agung dan suci...”, kau mulai tenang. Di hatiku, kegelisahan berkumandang. Aku ingin kau bangkit, aku ingin kau kembali berdiri tegak, menantang takdir, dan kau akan berkata kembali bahwa, kau ingin mati seribu tahun lagi. Tanpa ada kata tapi.

Senja akan segera berakhir, dan malam segera disambut gerimis. Kita lalu berteduh di bawah hujan.


“Hujan ini adalah engkau, dan aku perempuanmu...”, kau katakan padaku, dan aku coba sembunyikan kegalauan hati dengan senyum yang, tak berarti dibanding teduhnya tatapanmu. Aku merasa tak ada hujan, tak ada. Tatapanmu meneduhkanku.


... 


Masih di senja yang itu, yang aku tak akan pernah melupakannya sampai kapanpun, kita tak langsung pulang. Malah berasyik-masyuk dengan gerimis yang kau bilang, biru. Semoga malam terlambat datang, Tuhan, dan aku tak akan kesepian. Kau masih sibuk dengan tissue yang berjatuhan di bawah kursi, warnanya merah,ya, merah, itulah yang membuatku getir.


“Dokter bilang, hidupku tinggal menungguu waktu. Lihatlah darah yang tak henti mengucur dari hidungku ini, ini bukanlah pertanda baik.


“Aku mengerti, sayang, tapi, bukankah hanya Dia yang Mahatahu akan waktu kita?”


“Ya, aku tahu itu. Tapi keadaanku saat ini, sayang...”


“Dokter bukan Tuhan, sayang, apa yang dikatakannya belum tentu benar. Dan kau harus yakin pada dirimu, kau pasti sembuh...”


“Aku lelah...”


Dan aku memelukmu, begitu erat, hingga tiada jeda. Gerimis berhenti. Langit kembali jingga.


“Aku ingin hidup denganmu, selayak awan dan hujan, hingga kita tiada bisa dipisah angin dan halilintar”, terdengar adzan memanggil, dan kita bergegas pulang.


...


Malam pun lahir membawa kenang. Engkau, di benakku selalu membayang.


“Mamaku sakit...”, katamu.

“Sakit apa?”

“Entahlah, mungkin kecapekan, kemarin baru datang dari luar kota, sekarang lagi dirawat”

“Semoga keadaannya segera membaik, janganlah terlalu difikirkan, nanti malah membebankan fikiranmu...”

“Iya, ini aku baru mau pergi ke Rumahsakit. Doain mama ya... “

“Pasti, hati-hati ya...”

...


Seperti biasa, kemanapun aku pergi, engkau tak pernah lupa dengan buku kecil dimana aku selalu menulis puisi di dalamnya. 


“Gimana keadaan Mama...”

“Membaik, sayang, kamu gimana ‘Dek...”

“Adek baik-baik aja ma...”

“Lah, ini apa Dek? Kamu mimisan lagi?”, Mama kaget saat melihat darah jatuh di tempat berbaringnya.

“nggak apa-apa, Ma, ini kan biasa. Barusan juga habis dari UGD...”

“Hah? UGD!!! Ayo kesana lagi!!!”, Papa pun ikut kaget.

“Nggak apa-apa, Pa, udah, gak usah. Entar juga berhenti....”


Setelah lama mengobrol, tak terasa, aku harus pulang. Dan aku berpamitan untuk pulang, diantar si Wawan, supir Papa.


...

“Pah...”

“Iya, ma...”

“Lihat ini, buku si Adek ketinggalan...”

“Buku apa ma?”

“Kayaknya ini buku catatan puisinya Si Adek...”

“Coba lihat....”

“Nih...”

“Ma, coba baca ini. Kayaknya tulisan ini buat mama...”

“Mana, Pah?”, mulai terlihat tulisan berjudul surat untuk mama yang ditulis dengan banyak coretan. 


SURAT UNTUK MAMA


Mama, ada risau, gelisah, galau dan kemurungan yang kau sembunyikan di mata beningmu yangng selalu meneduhkan

Ada yang tersurat menghalangi bola mata hitammu, bukan pelangi yang kulihat, bukan senyum yang kutemu, bukan pula tatapan bahagiamu

Ada apakah gerangan di hatimu, di matamu

Tak ingin berbagi lagikah dengan puterimu?


Bila untuk mengatakan sesuatu kau merasa aku kan tersakiti, aku akan berusaha tak merasa sakit demi untukmu, mama

Bila untuk mengungkapkan rasamu agar aku tak merasa sedih, aku tak akan melipat lara dalam jiwa demi untukmu


Mama, karena aku kah Mama begini

Karena sakitku kah Mama gelisah

Atau karena sesuatu yang kini sedang kurasakan, bicaralah, Mama, bicaralah

Aku faham dan mengerti semua Mama lakukan, karena tak ingin membuat aku menempati ruang yang penuh alat-alat canggih dan menempel di tubuhku

Mama, demi alloh aku sayang Mama, apapun akan aku lakukan demi Mama

Bicaralah, apapun, apapun akan aku lakukan demi mellihatmu bahagia, bicaralah, mama

Mama, kalau hanya itu yang Mama minta, demi alloh aku bersedia melakukannya demi untukmu, bukan untuk orang lain

Biar, biar, biar akan kubuang luka ini, kubungkus pilu ini, kurejam sakit ini

Walaupun bernanah dan berdarah

Aku sanggup melakukan permintaan itu, mama

Permintaan yang tak bisa kuabaikan, permintaan seorang mama bidadari hidupku


Mama, tapi Mama janji ya, bantu aku melupakan semuanya

Bimbing aku tuk memulai hidupku yang tinggal hanya sepenggala waktu ini Senyummu lebih berarti dari apapun yang kumiliki di dunia ini

Mama adaah anugerah terindah yang kumiliki setelah (Xselain) cintaNya (Xyang juga anugerah buatku)

Hidupkan semangatku Yaa Rabb...

Aku ingin mengisi dan menjalani sisa hidupku yang damai, tenang dan penuh dengan kebahagiaan

Keep Spirit Blue Rose!!


Andai waktuku nanti tiba, ingat janjimu ya, Mama

Tak akan pernah ada yang tahu tentang kematianku, tak akan pernah 

Aku ingin di sini saja, jauh dari yang mencintai dan menyayangiku

Aku ingin taburi makamku dengan mawar biru dan mawar putih

Jauhkan mawar merah dari nisanku, karena aku tak suka

Janji ya, mama


Sekarang, senyumlah

Si botak puterimu yang cantik menebar senyum manis untukmu

Hanya untukmu, mama



sembilantigasebelas *


Tak tertahankan, dan berjuta halilintar, jatuh dari mata mereka berdua.


...


“Wawan!!!!!”

“Iya Neng...”

“Kamu lihat buku aku gak?? Yang kecil itu, Wan, yang suka aku bawa-bawa....”


_elhida____________________________________________________________________

    About this blog

    Pengikut

    Diberdayakan oleh Blogger.